“Membangun Jati Diri
Keindonesiaan”
Negara Indonesia ini memang terbentuk
melalui proses panjang atas dasar kesepakatan dan kesadaran nasionalisme para
pemuda dan terpelajar saat itu. Mereka tidak hanya berasal dari satu suku
bangsa, tetapi mereka berasal dari suku-suku bangsa yang ada di Hindia-Belanda
pada waktu itu. Begitu pula dalam hal keyakinan mereka sadar bahwa mereka
memang berbeda, akan tetapi mereka yakin, bahwa mereka mempunyai tujuan yang
mulia, yaitu mencapai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Catatan sejarah
menunjukkan, bahwa pada awal abad ke-20 keindonesiaan digagas oleh kalangan
pemuda terpelajar. Pada tahun 1922, De Indishe Vereeninging,
yaitu suatu perkumpulan mahasiswa Hindia (nama sebelum menjadi Indonesia) yang
berada di negeri Belanda, nama itu kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeninging.
Ketika nama Indonesia itu digunakan oleh para kaum muda terpelajar Hindia yang
sedang belajar di negeri Belanda konsep Indonesia menjadi sebuah konsep
politik. Maka, organisasi yang mulanya merupakan perkumpulan sosial
kemahasiswaan berubah menjadi organisasi yang memperlihatkan kecenderungan
politik. Jadi penggunaan nama Indonesia bukan hanya sekedar didasarkan atas
kondisi geografis dan antropologis saja. Pada tahun 1923, perkumpulan itu
berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Jelaslah bahwa keinginan kuat
para pelajar itu untuk menampilkan diri sebagai kekuatan nasionalisme
Indonesia. Kenyataan itu menunjukkan hasrat kuat para pemuda itu untuk
memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Begitu pula
dengan majalah organisasi itu juga diubah namanya dariHindia Poetera menjadi
Indonesia Merdeka.
1. Menganalisis Tumbuhnya Ruh
Kebangsaan dan Nasionalisme
Koran di era itu memiliki makna yang strategis dalam perjuangan
mencapai kemerdekaan. Koran dapat memuat ide-ide pembaruan, ide-ide
nasionalisme
sehingga bisa menggelorakan semangat kebangsaan pada setiap jiwa
rakyat Indonesia. Pada uraian berikut ini kita akan mengkaji tentang tumbuhnya
ruh kebangsaan Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari peran pers, juga
adanya gerakan pembaruan dalam Islam dan sudah tentu sangat terkait dengan
bagaimana kebijakan Pemerintah Belanda .
1. Politik Etis
Memasuki abad
ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh
wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap
wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer.
Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan
adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica.
Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem
administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem
yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem
birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting
dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi
dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan
pegawai dalam birokrasi kolonial. Sementara itu pemerintah kolonial menerapkan
kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui
komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung
dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian,
perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu kehidupan rakyat Hindia Belanda
mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus
dan intelektual di Hinda Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer dalam tulisannya
yang berjudul “Een Eereschlud’ (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De
Gids(1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia
Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka
dan memperoleh keuntungan yang besar. Kritikan itu mendapat perhatian dari
berbagai kalangan, beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer
mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan
balas budi. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi
masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan
baru itu adalah Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era
Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang
kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga program
Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis
membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda
atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”.
Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan.
Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api
Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik
yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah
kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan
membangun irigasi. Di samping itu pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai
tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini
kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi
kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas.
Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis
itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh
negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Pengaruh pendidikan Barat memunculkan sekelompok kecil
intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus
mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan
intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah
guru dan jurnalis di kota-kota.
Para kaum muda terpelajar membentuk kesadaran “nasional” sebagai
bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis
waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna
baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu
sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan
seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi
tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka.
Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan
Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu
penggerak wacana perubahan di lembaga tersebut.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya
melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang
dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra
dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah
orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger
dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu
penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang
menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Penerbit bumiputra pertama
di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo,
F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redakturIlmoe Tani,
Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang
diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin
Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillahditerbitkan
oleh Firma H. Buning.
1. Tirtodanudja
dan R. Mohammad Jusuf adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij
& Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoeryang diterbitkan di Malang oleh
Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang
diterbitkan oleh G. Kolff & Co.
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari
Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah
organisasi. Dalam tulisan-tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat
tentang “kemajuan” dan “dunia maju”.
Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum
kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang
senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk
mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada
organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua
kota-kota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo
tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa
Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan
kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan
masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”,
Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2
Mei 1908.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial
adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide-ide
radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto
Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot
Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan
Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan
Komite Boemipoetera (1913).
3. Modernisme dan Reformasi Islam
Semangat kebangkitan juga didorong oleh gerakan modernis Islam.
Semangat modernisme itu berlandaskan pada pencarian nilai-nilai yang mengarah
pada kemajuan dan pengetahuan. Modernisme diartikan sebagai cara berpikir
dengan peradaban Barat, dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui
pencarian mendasar etik kepada Islam untuk kebangkitan politik dan budaya.
Reformasi biasanya diartikan sebagai pembaruan melalui pemurnian
agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk memperbaharui
cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang murni.
Gerakan femormasi Islam telah dirintis di Sumatera Barat pada
abad ke-19 yang berlanjut ke Jawa dan berbagai daerah lainnya. Jika pada abad
ke-19, gerakan itu lebih menekankan pada gerakan salafi melawan kaum adat, pada
abad ke-20 lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam melawan
tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi Barat yang menjajah
mereka.
Pada awal abad ke-20, empat ulama muda Minangkabau kembali dari
menuntut ilmu di Mekah. Mereka adalah Syekh Muhammad Taher Jamaluddin (1900),
Syekh Muhammad Jamil Jambek (1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji
Abdullah Akhmad (1899). Mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
seorang imam besar Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari
Minangkabau. Mereka itu kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru.
Perintis pembaruan itu adalah Syekh Taher Jamalludin yang
sebagaian besar pengalamannya berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imamadalah
sarana yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar dari
Minangkabau. Di samping itu Al-Imamjuga memuat ajaran agama dan
peristiwa-peristiwa penting dunia.
1. Menganalisis Perjuangan
Organisasi Pergerakan Kebangsaan
Kutipan buku Van Miert
“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari
dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia Belanda, Jong Java dan Jong
Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di Batavia untuk mendengarkan
pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi Hindia. Itu adalah
pertemuan pertama Studiegroep Politiek Wetenshappen kelompok Studi Ilmu
Politik)…” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”. Begitulah Fournier
menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang harus dipunyai seorang
pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang menggelora
terhadap tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi kemajuan
bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para
pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang
dingin, jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh
pergolakan politik yang ada pada jamannya
|
1. Organisasi Awal Pergerakan
Pada awal abad ke-20, di Nusantara muncul berbagai kelompok dan
organisasi yang memiliki konsep nasionalisme, seperti Sarekat Dagang Islam
(kemudian menjadi Sarekat Islam), Budi Utomo (BU), Jong Java, Jong Celebes,
Jong Minahasan, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya. Munculnya
organisasi-organisasi itu mendanai fase perubahan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Kalau sebelumnya berupa perlawanan fisik
kedaerahan menjadi pergerakan nasional yang bersifat modern.
Organisasi-organisasi itu mengusung tujuan yang sama, yakni untuk lepas dari
penjajahan.
1. Budi Utomo
Boedi Oetomo
(BO) atau Budi Utomo (BU) merupakan pergerakan nasional yang didirikan pada
tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin Sudirohusodo.BU didirikan dengan tujuan untuk
menggalang dana untuk membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan dana. Namun
ide itu kurang mendapat dukungan dari Kaum Tua. Ide dr. Wahidin itu kemudian
diterima dan kembangkan oleh Sutomo. Seorang mahasiswa School tot Opleiding
voor Inlandsche Arsten(STOVIA). Sutomo kemudian dipilih sebagai ketua
organisasi itu. Sebagian besar pendiri BU adalah pelajar STOVIA, seperti
Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo, dan RT Ario Tirtokusumo. Pada
tanggal 29 Agustus 1908, dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan BU di Yogyakarta.
Pada mulanya organisasi ini orientasinya hanya sebatas pada
kalangan priyayi, namun pancaran etnonasionalisme semakin terlihat saat
dilaksanakan kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, di
Yoyakarta. Dalam kongres itu dibahas tentang dua prinsip perjuangan, golongan
muda menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial,
sedangkan golongan tua mempertahankan cara lama yaitu perjuangan
sosio-kultural.
Perdebatan itu tidak saja menyangkut tujuan BU tetapi juga
pemakaian Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Perdebatan juga menyangkut tentang
sikap menghadapi westernisasi. Radjiman berpendapat bahwa “Bangsa Jawa tetap
Jawa” dan menunjukkan identitasnya yang masih Jawasentris. Sementara Cipto
Mangunkusuma berpendapat bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan
Barat dan unsur-unsur lain sehingga dapat memperbaiki taraf kehidupannya.
Pemerintah Hindia Belanda mengakui BU sebagai organisasi yang
sah pada Desember 1909. Dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak lain
sebagai bagian dari pelaksanaan Politik Etis. BU mulai kehilangan wibawanya
pada tahun 1935, organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai
Indonesia Raya (Parindra). Keberadaan BO memberikan inspirasi untuk
organisasi-organisasi modern lainnya, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Sedio
Tomo, Muhammadiyah, dan lain-lain.
1. Sarekat Islam
Pada mulanya SI lahir karena adanya dorongan dari R.M.
Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909,
ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).
Perkumpulan itu bertujuan untuk memberikan bantuan pada para pedagang pribumi
agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Kegelisahan Tirtoadisuryo itu
diutarakan pada H. Samanhudi. Atas dorongan itu H. Samanhudi mendirikan Sarekat
Dagang Islam di Solo (1911). Pada mulanya SI bertujuan untuk kesejahteraan
sosial dan persamaan sosial. Mula-mula SI merupakan gerakan sosial ekonomi
tanpa menghiraukan masalah kolonialisme. Jelaslah bahwa tujuan utama SDI adalah
melindungi kegiatan ekonomi pedagang Islam agar dapat terus bersaing dengan
pengusaha Cina. Agama Islam digunakan sebagai faktor pengikat dan penyatu
kekuatan pedagang Islam yang saat itu juga mendapat tekanan dan kurang
diperhatikan dari pemerintah kolonial. SDI selanjutnya dipimpin oleh Haji Umar
Said Cokroaminoto. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang orator yang cakap dan
bijak, kemampuannya berorator itu memikat anggota-anggotanya. Di bawah
kepemimpinannya diletakkan dasar-dasar baru yang bertujuan untuk memajukan
semangat dagang bangsa Indonesia. SDI kemudian berubah nama menjadi Sarekat
Islam (SI) pada tahun 1913.
Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam
pidatonya di Kebun Bintang Surabaya, ia menegaskan bahwa tujuan SI adalah
menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi agar
mampu bersaing dengan bangsa asing.
Gambar rumah Cokroaminoto
Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai
politik, SI yang semula merupakan organisasi nonpolitik berubah menjadi partai
politik. SI mengirimkan wakilnya dalam Volksraad(Dewan Rakyat) dan memegang
peran penting dalam Radicale Concentratie,yaitu gabungan perkumpulan yang
bersifat radikal. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan buruh. Dalam suatu
pembukaan rapat Volksraadmasih terekam dalam ingatan bersama kaum terpelajar
bumiputera tentang Janji November (November Beloofte).
Dalam pidatonya itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengatakan
bahwa dalam zaman baru hubungan pemerintah kolonial dan proses demokratisasi
dimulai. Ia juga mengatakan, bila saatnya kelak Volksraadmenjadi dewan rakyat,
sebuah lembaga bagi rakyat Hindia untuk menyampaikan hasrat untuk merdeka.
Namun Volksraadtidak pernah menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap
menjadi alat bagi pemerintah kolonial. Dalam kongres SI tahun 1914, yang
diselenggarakan di Yogyakarta Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala
konflik internal mulai kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang.
Dalam kondisi itu Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan
dengan mengatakan kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk.
Dalam kongres tahunan yang diselenggrakan SI pada tahun 1916, Cokroaminoto
menyampaikan dalam pidatonya perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat
Indonesia. Pada tahun itu kongres pertama SI yang dihadiri oleh 80 anggota SI
lokal dengan anggotanya sebanyak 36.000 orang. Cokroaminoto dikenal sebagai
seorang politikus dan orator yang cerdas.
Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan
cara berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang
diadakan di rumah Cokroaminoto. Dia juga meniru cara Cokro berpidato dengan
berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal sebagai
seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Sebelum kongres tahunan berikutnya (1917) di Jakarta, muncul aliran
revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang dipimpin
oleh Semaun.
Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik
terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran
yang diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang
kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Sementara itu dalam kongres
di Madiun 1923, Central Sarekat Islam (CSI) diganti menjadi Partai Sarekat
Islam (PSI), dan memberlakukan disiplin partai. Di lain pihak, SI yang mendapat
pengaruh PKI menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan
bentukan PKI. Azas perjuangan PSI adalah nonkooperasi artinya oraganisasi itu
tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
Kongres PSI tahun 1927 menegaskan azas perjuangan organisasi itu
adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Dalam konggres
Pemuda tahun 1928, PSII aktif mengambil bagian dalam PPPKI. Banyaknya anggota
muda dalam PSII membawa perbedaan paham antara golongan muda dengan golongan
tua. Pada 1932, timbulah perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Muncullah
Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Dr. Sukiman yang berpusat di Yogyakarta.
Pada tahun 1940, Sekar Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII
tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat perpecahan
itu PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam kemudian
dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang merupakan lanjutan dari PARII di
bawah pimpinan Dr. Sukiman.
1. Indische Partij (IP)
Indische Partij merupakan organisasi politik yang
anggota-anggotanya berasal dari keturunan campuran Belanda-pribumi
(Indo-Belanda) dan orang asli pribumi. Munculnya organisasi ini karena adanya
sejumlah golongan orang Indo-Belanda yang dianggap lebih rendah kedudukannya
dari pada orang Belanda asli (totok).
Sejumlah orang dari golongan Indo Belanda itu kemudian
mendirikan perkumpulan Indische Bond (1898). E.F.E Douwes Dekker yang kemudian berganti
nama Dr. Danudirjo Setiabudhi berkeinginan untuk melanjutkan Indische
Bondsebagai organisasi politik yang kuat. Keinginan Douwes Dekker itu semakin
menguat saat ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat
atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Mereka kemudian dikenal dengan “Tiga
Serangkai”.
Douwes Dekker adalah cucu Eduard Douwes Dekker atau Multatuli,
seorang penulis Max Havelaaryang membela petani Banten dalam masa Tanam Paksa.
Ia seorang campuran ayah Belanda dan ibunya Indo. Pengalaman hidupnya itulah
yang menjiwai gerak politiknya. Bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan
Cipto Mangunkusumo maka dibentuklah Indische Partij(IP) pada tahun 1912.
Keinginan IP untuk mewujudkan cita-citanya itu mendapat respon positif dari
masyarakat saat itu.
Kedekatan Douwes Dekker dengan pelajar STOVIA di Jakarta membuka
peluang bagi pemuda terpelajar saat itu untuk menuangkan gagasan-gagasan mereka
dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, saat ia menjadi redaktur surat kabar
itu. Pengaruh BU juga mendasari jiwa Douwes Dekker saat ia melakukan propaganda
ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September hingga 3 Oktober 1912. Dalam
perjalanannya itu ia menyelenggarakan rapat-rapat dengan elit lokal di
Yogjakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Tegal, Semarang, Pekalongan, dan
Cirebon.
Bagi pemerintah kolonial keberhasilan IP mendapat simpatisan
dari masyarakat merupakan suatu yang berbahaya. Organisasi itu kemudian
dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan berbahaya (pertengahan 1913).
Pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang. Douwes Dekker diasingkan ke Timor,
Kupang. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Bkamu. Suwardi Suryaningrat dibuang ke
Bangka. Tiga Serangkai itu kemudian dibuang ke Negeri Belanda. Pembuangan Tiga
Serangkai.
Karena alasan kesehatan, pada 1914 Cipto Mangunkusumo
dipulangkan ke Indonesia. Douwes Dekker dipulangkan pada 1917 dan Ki Hajar
Dewantoro dipulangkan pada 1918. Setelah IP dibubarkan dan pimpinannya
menjalankan pembuangan organisasi itu kemudian bernama Insulinde. Namun organisasi
itu kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Kemudian tahun 1919 berganti nama
menjadi Nationaal Indische Partij(NIP). Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan
Perguruan Taman Siswa (1922), sebagai badan perjuangan kebudayaan dan
perjuangan politik.
2. Organisasi Keagamaan
Pada abad ke-19, muncul gerakan pembaruan di negara-negara
Islam, di Asia Barat. Pemikiran itu merupakan reaksi atas tantangan Barat.
Gerakan itu berpusat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dengan pimpinan
Jamaluddin Al Afghani. Pengaruh gerakan itu sampai di Indonesia dengan
tokoh-tokohnya Muhammad Iqbal dan Amir Ali. Reformasi Islam dapatlah dikatakan
sebagai gerakan emansipasi keagamaan, yaitu dengan perbaikan kaum muslim
melalui pendidikan yang sedapat mungkin sejajar dengan pendidikan barat. Di
Jakarta, tahun 1905, berdiri perkumpulan Jamiyatul khair yang mendirikan
sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Sekolah modern itu disamping mengajarkan
agama juga mengajarkan pelajaran berhitung, sejarah, geografi, dll.
1. Muhammadiyah
Keberadaan organisasi BU telah memberikan inspirasi kepada KH
Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah orgaisasi yang bersifat modern bernama
Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912,
bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Salah satu tujuan
pendirian Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran Islam. Islam seharusnya
bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf
nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang jelek.
Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara sendiri, menggabungkan
cara tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran
agama yang lakukan di dalam kelas. Dalam bidang kemasyarakatan organisasi
ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu
yang dikelola oleh embaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan
berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk
kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Selanjutnya organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiah
di Yogyakarta, sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiah. Nama
‘Aisyiyah terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri nabi Muhammad yang dikenal taat
beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga.
Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
1. Nahdlatul Ulama (NU)
Pembaruan Islam yang dilakukan di kota-kota mendorong kaum tua
yang ingin mempertahankan tradisi mereka untuk mendirikan organisasi. Reaksi
positif dari golongan tradisionalisme adalah lahirnya organisasi di kalangan
mereka. Saat itu kebetulan bertepatan dengan akan dilakukannya Kongres
Islam sedunia (1926), di Hijaz. Para ulama terkemuka saat itu kemudian
membentuk lembaga yang bernama Jam’iyatul Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari
1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim
Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada
Ahlusunnah wal jam’ah. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial,
ekonomi, dan pendidikan.
Dalam kongres yang diadakan di Surabaya, 28 Oktober 1928,
diambil keputusan untuk menentang kaum reformis dan perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh Paham Wahabi. NU termasuk organisasi yang giat mengubah tradisi
berkhutbahnya dari bahasa Arab menjadi bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh
jamaahnya. Perubahan cara berpikir pun mulai terlihat yang kemudian diikuti
dengan perbaikan organisasi secara lebih modern, lembaga-lembaga sosial mulai
didirikan, seperti rumah sakit, rumah yatim piatu, serta sekolah-sekolah. Pada
tahun 1935, NU berkembang dengan pesat, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan
jumlah anggota 6.700. Pada tahun 1938, dalam kongresnya di Menes, Pandeglang,
Banten, NU berusaha untuk dapat memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa. Kongres
selanjut di Surabaya, tahun 1940, diputuskan untuk mendirikan Wanita Nahdlatul
Ulama Muslimat dan pemudanya dibentuklah Organisasi Ansor.
1. Organisasi Islam lainnya
Pada tahun 1914 didirikan perkumpulan Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad
Surkati. Ia berkeinginan agar pendidikan agama Islam dilakukan sejak dini dan
diajarkan terus menerus. Juga dikembangkannya ukhuwwah Islamiyah di antara
pemeluk agama Islam. Banyaknya keturunan Arab yang berdomisili di Indonesia,
mendorong A.R. Baswedan untuk mendirikan Partai Arab Indonesia pada tahun 1934.
Di Sumatra Barat, berdiri Sumatra Thawalib. Organisasi itu
didirikan oleh kalangan pemuda Sumatra Barat, tahun 1918. Para pemuda itu
mendapat pendidikan Islam di Mekah. Mereka belajar pada Syekh Akhmad Khatib,
ketika kembali ke Sumatera Barat, mereka membawa pemikiran Islam modern yang
digerakan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Organisasi itu
bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang
berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan menurut ajaran Islam. Kemudian
organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia yang memperluas
tujuan, yaitu Indonesia Merdeka dan Islam Jaya. Sebagai organisasi politik yang
radikal, Thawalib kemudian dilarang untuk beraktivitas oleh pemerintah pada
tahun 1936.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, organisasi ini didirikan oleh
ulama-ulama di Sumatera Barat yang tidak setuju dengan Thawalib, antara lain
Syekh Sulaiman ar Rasuly. Mereka juga membuat majalah sebagai sarana
menyalurkan gagasan dan ide-ide kemajuan, antara lain Suara Tarbiyatul
Islamiyah(SUARTI), Al Mizan, dan Perti Bulanan. Setelah kemerdekaan organisasi
itu bernama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI). Organisasi yang sejalan dengan
PERTI adalah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT). Organisasi PMT ini didirikan oleh
Syekh Musthafa Purba, baru pada tahun 1930 juga karena tidak sepaham dengan
Thawalib.
Selanjutnya di Bandung berdiri Persatuan Islam (PERSIS).
Organisasi itu muncul sebagai reaksi dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair,
pada tahun 1923 oleh Kiai Hasan. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran beragama dan semangat ijtihat dengan melakukan dakwah dan pembentukan
kader melalui madrasah dan sekolah. Di Kalimantan Selatan juga berdiri
organisasi yang merupakan kelanjutan dari SI. Usaha SI di bidang pendidikan
dilanjutkan dengan mendirikan madrasah Daru Salam. Kegagalan SI juga mendorong
masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan SI, maka didirikanlah Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi itu dibentuk oleh Tengku M.Daud Beureureh
pada 5 Mei 1939. Tujuan organisasi itu meningkatan pendidikan agar terlaksana
syari’at Islam dalam masyarakat. Kemudian Nahdatul Wathan yang juga merupakan
organisasi kelanjutan SI di Nusa Tenggara barat. Organisasi itu juga bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran beragama.
1. Majelis Islam Ala Indonesia
(MIAI)
MIAI merupakan gabungan dari organisasi politik dan beberapa
organisasi massa yang bersifat moderat terhadap Belanda. Golongan Muslim yang
tergabung dalam organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap pemerintahan
kolonial. Saat Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat kelonggaran menjalankan
aktivitasnya, sementara aktivitas organisasi yang lain dilarang. Karena MIAI
dipandang sebagai organisasi yang anti barat. Suatu ketika seluruh pemuka agama
diundang oleh Gunsikan, Mayor Jenderal Okazaki ke Jakarta.
Sebagai organisasi yang diakui Jepang MIAI dianggap kurung
memuaskan pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti
dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim
Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H
Nachrowi, dan Zainal Arifin.
3. Organisasi pemuda
Di samping organisasi keagamaan juga berkembang organisasi dan
partai politik. Organisasi itu masih bersifat kedaerahan dan menentang
kolonialisme. Organisasi itu mempunyai tujuan untuk kebangsaan dan cinta tanah
air. Pada kalangan pemuda berkembang berbagai gerakan untuk membebaskan tanah
air dari penjajahan. Tri Koro Dharmo, didirikan di Jakarta pada 7 Maret 1915.
Organisasi itu didirikan di Gedung Kebangkitan Nasional dengan ketua dr.
Satiman Wiryosanjoyo. Perkumpulan itu beranggotakan pemuda-pemuda Jawa. Dalam
kongresnya di Solo organisasi itu berubah nama Jong Java. Kemudian pada 1920-an
Jong Java mulai melakukan perubahan pandangan dari kedaerahan ke nasional.
Setelah Sumpah Pemuda ia berfusi dalam Indonesia Moeda.
Pemuda Sumatera juga mendirikan persatuan pemuda Sumatera yang
dikenal dengan Jong Sumatera Bond. Organisasi itu dirikan pada 1917, di
Jakarta. Persatuan itu bertujuan untuk memperkukuh hubungan antarpelajar yang
berasal dari Sumatera. juga menumbuhkan kesadaran di antara anggotanya, dan
membangkitkan kesenian Sumatera. Tokohnya adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.
Perkumpulan yang lainnya dibentuk berdasarkan daerah yang ada,
antara lain Jong Minahasa, Jong Celebes, dan Jong Ambon. Perkumpulan ini
kemudian berfusi dalam Indonesia Muda. Di samping itu juga muncul Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 1925, oleh mahasiswa Jakarta dan
Bandung. Tujuan PPPI adalah kemerdekaan tanah air Indonesia Raya. Organisasi
bersifat anti-imperialisme. Di Bandung pada tahun 1927, berdiri Jong Indonesia.
Berbeda dengan organisasi-organisasi pemuda sebelumnya, organisasi ini sudah
bersifat nasional. Organisasi itu kemudian berganti nama Pemuda Indonesia dan
organisasi wanitanya bernama Putri Indonesia.
Pada tahun 1926, diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I di
Jakarta yang
dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat
kedaerahan
itu. Meskipun dalam Kongres I itu belum menghasilkan keputusan
penting,
namun setidaknya benih-benih kebangsaan dan nasionalisme sudah
ditanamkan pada saat itu.
4. Organisasi Wanita
Organisasi wanita yang berkembang sebelum tahun 1920, lebih
menekankan pada perbaikan status sosial di dalam keluarga. Organisasi itu juga
menekankan pada pentingnya pendidikan dan masih bersifat kedaerahan. Pada tahun
1912, berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta. Organisasi itu bertujuan
untuk membantu bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut
pelajaran dan mengemukakan pendapat dimuka umum, serta memperbaiki hidup wanita
sebagai manusia yang mulia.
Berbagai aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama
memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah wanita
Putri Mardika.Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam kepengurusan Putri
Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun
Tondokusumo.
Kartini Fonds, didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer,
seorang penasehat Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan
tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini. Pada tahun 1913- 1915 berdiri berbagai
organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Corak pergerakan wanita
pada mulanya untuk berbaikan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga dengan
memperbaiki pendidikan dan mempertinggi kecakapan wanita. Di Sumatera Barat
didirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), yang diketua Rohana Kudus. Organisasi itu
bertujuan untuk meningkatkan derajat wanita dengan belajar membaca dan menulis,
baik huruf Arab maupun Latin. Juga belajar membuat kerajinan tangan, mengatur
rumah tangga, dan pada 1914 Kerajinan Amai Setia itu berhasil mendirikan
sekolah perempuan pertama di Sumatera Barat.
Seiring meningkatnya pendidikan pada kaum perempuan, semakin meningkat
pula perkumpulan-perkumpulan wanita. Mereka tidak saja bergerak dalam bidang
pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Perkumpulan kaum wanita ini juga
lahir sebagai organisasi wanita dari organisasi-organisasi pergerakan yang
sudah ada. Organisasi yang dimaksud misalnya ‘Aisyiah. Sejak itu, saat K.H.
Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah, juga
mendorong dan memberikan bantuan pada kaum wanita Muhammadiyah untuk mendalami
dan mengamalkan ajaran agama Islam. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah
bergabung dalam organisasi Sopo Tresno, yang kemudian berganti nama menjadi
Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan
jumlah anggota mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring.
5. Partai Komunis Indonesia
Dalam kongres nasional SI yang pertama penggabungan prinsip
Islam dan sosialisme dibicarakan. Sosialisme dipandang sebagai simbol modern
yang berlawanan dengan imperialisme. Suatu paham yang dipandang dapat membawa
keadilan sosial, kemakmuran, dan kemerdekaan bangsa terjajah. Sementara itu di
Belanda, Sneevliet, Brandstrder, dan Dekker mendirikan ISDV. Mereka berusaha
mencari kontak dengan IP dan SI untuk mendekati rakyat tetapi tidak berhasil.
Radikalisme kaum komunis menyebabkan pemerintah Belanda mengusir
kaum komunis Belanda untuk pergi dari Indonesia. Dengan kepergian kaum komunis
itu maka terjadilah pergantian pimpinan. Tahun 1920 organisasi itu kemudian
berganti nama Partai Komunis Hindia dan tahun 1924 berganti menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Pada saat bersamaan pemerintah Belanda mengadakan penangkapan
terhadap orang PKI yang mengadakan aksi politik. Semaun dan Darsono melarikan
diri ke Rusia. Kedudukan pimpinan PKI digantikan oleh Tan Malaka. Karena
keterlibatan SI dan PKI dalam pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, maka Tan
Malaka dan Abdul Muis ditangkap dan diasingkan. PKI selanjutnya bergabung
dengan Comintern (Communist International).
SI kemudian terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih
dibawah H. Agus Salim memutuskan hubungan dengan PKI. Meskipun prinsip
persatuan dipegang teguh dalam menghadapi pemerintah, tetapi karena kondisi
sosio politik menguntungkan PKI bila terus diadakan kerjasama, maka
Cokroaminoto pada tahun 1923 melaksanakan “disiplin partai”.
PKI mendapat dukungan dari kalangan buruh. Sebagai akibat dari
depresi ekonomi pada 1923, kaum buruh yang bergabung dalam Vereeninging voor
Spoor en Tramwegpersoneel(VSTP) mendesak melakukan pemogokan untuk menuntut
kenaikan upah. Pada tahun 1926-1927 pemimpin PKI melakukan pemberontakan,
pimpinannya kemudian dibuang ke Boven Digul. Tindakan itu merupakan
penyimpangan dari pola-pola kaum terpelajar, dengan semangat Kebangkitan
Nasional.
6. Perhimpunan Indonesia :
Manifesto Politik
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda
mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereniging(1908), yaitu perkumpulan
Hindia, yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina dan Belanda. Organisasi itu
didirikan oleh R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein
Jajadiningrat. Organisasi itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia
Putera.
Banyaknya
pemuda-pemuda pelajar di tanah Hindia yang dibuang ke Belanda, semakin
menggiatkan aktivitas perkumpulan itu. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat diantara
mahasiswa Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische
Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging(1922). Selanjutnya perkumpulan itu
berganti nama Indonesische Vereeniging(1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma
Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta,
Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama perhimpunannya diganti lagi menjadi
“Perhimpunan Indonesia” (PI). Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama
Indonesia Merdeka.
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena
pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan
merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan
kemerdekaan tanah airnya.
Foto mahasiswa yang terhimpun
dalam PI.
Nama Indonesia mulanya
dikembangkan oleh Adolf Bastians ( sarjana
Jerman) yang diambil dari
Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud
Bastians dengan konsep
Indonesia, adalah Indonesia secara etnografi, bukan
konsep Indonesia seperti saat
ini. selanjutnya dalam rapat-rapat menjelang
kemerdekaan pandangan
etnografi dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan
tentang nasion yang saat itu
masih digunakan sebagai konsep bangsa dan
wilayahnya.
Para pelajar dan mahasiswa
Hindia di Belanda kemudian menggunakan
Indonesia sebagai identitas
dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi
politiknya. Karena itulah
Organisasi Indische Vereeniging berganti nama ke
Perhimpoenan Indonesia.
Hatta dalam memoarnya
menuturkan,” ….Langkah pertama untuk
memperkenalkan Tanah Air kita
Indonesia di luar negeri dibuat dengan
berhasil. Nama “INDONESIA”
tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama
aku di sana dan setelah
mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres
itu, semuanya menyebut
Indonesia. orang-orang Belanda, yang pada pidato
permulaan masih menyebut
“Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka
lagi, dalam perdebatan maupun
dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka keluar, kepada kawan
dan keterangan umum, mereka menyebut
“INDONESIA”. Apalagi setelah
bertukar pikiran dengan aku. Dalam
pimpinan agenda Kongres, nama
Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar
kembali dengan “Indes
Neerlandises”.”
|
Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan
Indonesia, juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur
melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda. PI juga
menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera. Dengan demikian jelaslah bahwa
Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto politik pergerakan Indonesia.
7. Taman Siswa
Awalnya, Taman Siswa bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman
Siswa (Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya
memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Namun, kemudian Taman Siswa berkembang
pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.
Azas Taman
Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut wuri Hkamuyani”. Artinya, “guru di depan harus
memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa menjalin kerjasama, dan di
belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para siswanya.” Azas ini
masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem
pendidikan Barat dan pondok pesantren, dengan mengajukan sistem pendidikan
nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan
asli Indonesia. Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang
tidak mendukung. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai
aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah
tangga dan Undang-Undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932 yakni larangan
mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai politik.
8. Organisasi Buruh
Perkumpulan Adhi Dharma yang didirikan oleh Suryopranoto (kakak
Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1915 berperan sebagai organisasi yang membela
kepentingan kaum buruh, termasuk membantu para buruh yang dipecat untuk
memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selama mencari
pekerjaan.
Pada bulan Agustus 1918, Suryopranoto membentuk gerakan kaum
buruh bernama Prawiro Pandojo ing Joedoatau Arbeidsleger(tentara buruh) yang
merupakan cabang dari Adhi Dharma. Organisasi ini didirikan sebagai dampak dari
terjadinya aksi perlawanan kaum buruh pabrik gula di Padokan (sekarang pabrik
gula Madukismo), Bantul, Yogyakarta. Bulan November 1918, Suryopranoto
mendeklarasikan berdirinya Personeel
Fabriek Bond(PFB) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan
Tani dan koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan
anggota kuli kencengatau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan
Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. PFB didirikan
untuk membela kepentingan kaum buruh yang terus mengalami penindasan.
1. Menganalisis Proses Penguatan
Jati Diri Bangsa
Sumpah Pemuda dapat kita lihat sebagai perwujudan dari sebuah
peristiwa besar, yaitu berkumpulnya organisasi-organisasi pemuda terpelajar
untuk melakukan “Kongres Pemuda”. Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan
fundamental dari sebuah bangsa yang masih dalam tahap pembentukan. Ia terbentuk
melalui kurun yang waktu panjang. Harus diingat Sumpah Pemuda itu memiliki
makna yang strategis dalam rangkaian untuk mengembangakan rasa persatuan dan
proses penguatan jati diri bangsa, Pada bagian ini kita akan mendalami tentang
materi yang terkait dengan “Penguatan Jati Diri Bangsa” yang bermula dari
peristiwa Sumpah Pemuda.
1. Menuju Sumpah Pemuda
1. Gerakan Pemuda
Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia
mulai
bangkit meskipun dalam loyalitas kepulauan. Perubahan pesat dan
radikal
dari organisasi-organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk
mencapai
cita-cita
persatuan. Maka pada 30 April – 2 Mei 1926,
diadakannya rapat
besar pemuda di
Jakarta, yang kemudian dikenal dengan Kongres Pemuda
Pertama. Kongres itu
diketuai oleh M. Tabrani.
Tujuan kongres itu
adalah untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu membentuk suatu
badan sentral dengan maksud memajukan paham persatuan kebangsaan dan mempererat
hubungan antara semua perkumpulan-perkumpulan pemuda kebangsaan.
Soemarto tampil sebagai pembicara dengan topik “Gagasan
Persatuan Indonesia”. Bahder Djohan tampil dengan topik “Kedudukan Wanita dalam
Masyarakat Indonesia”. Nona Adam yang menyampaikan gagasannya
tentang “Kedudukan Kaum Wanita”. Djaksodipoero berbicara tentang “Rapak Lumuh”.
Paul Pinontoan berbicara tentang “Tugas Agama di dalam Pergerakan Nasional”.
Muhammad Yamin berbicara tentang “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-Bahasa dan
Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”.
Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan
pengulangan dari pidatonya yang disampaikan dalam Lustrum I Jong Sumatranen
Bond. Saat itu pidato Yamin mendapat komentar dari Prof. Dr. Hooykes, bahwa
kelak Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar dan pergaulan di Indonesia, dan bahasa Belanda akan terdesak oleh
karenanya.
Keputusan mendasar dari Kongres Pemuda I adalah kongres mengakui
dan menerima cita-cita persatuan Indonesia. meskipun belum dinyatakan dengan
jelas. Sebagai tindaklanjut dari kongres itu Jong Java, Jong Sumatranen Bond,
Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Batas, Sekar Rukun, Vereeniging voor
Ambonsche Studeerenden dan Komite Kongres Pemuda I mengadakan pertemuan, pada
15 Agustus 1926.
Sementara itu untuk menghapus penjajahan yang merugikan rakyat
Indonesia dibentuklah Perhimpunan Pelajar-Pelajar di Indonesia (PPPI) di
Jakarta, September 1926. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.
Aktivitas PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. Ketua perkumpulan
itu Soegondo Djojopoepito, tokoh-tokoh lainnya adalah Muh. Yamin, Abdullah
Sigit, Suwiryo, Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Tamzil, Sunarko, Amir
Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering berkumpul di Indonesische
Clubgebouwyang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden. Mereka mempunyai
hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak formal.
Pada 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II dilaksanakan di gedung
Indonesische Clubgebouw. Saat itu kongres dihadir sekitar 1000 orang. Dalam
kesempatan itu Muh. Yamin menyampaikan pidatonya dengan judul “Dari Hal
Persatoean dan Kebangsaan Indonesia”. Pada hari kedua kongres dibicarakan
tentang masalah-masalah pendidikan, pembicara saat itu antara lain Ki Hadjar
Dewantara, S. Mangoensarkoro, Djokosarwono, Ramelan, Mr. Soenario, dan
Poernomowoelan.
Dalam
rapat-rapat di PPPI, Yamin selalu menentang ide fusi dari perkumpulan yang ada.
Sebagai pemuda Sumatera Yamin berkeinginan untuk memilih federasi dari
perkumpulan-perkumpulan yang ada. Keinginannya itu lebih cenderung agar
perkumpulan lebih bebas bergerak. Namun saat Kongres Pemuda berlangsung, Yamin
berubah pikiran, ketika itu Mr. Soenario sedang berpidato. Sebagai sekretaris,
ia memberi resolusi dalam rapat itu, yaitu menjunjung tinggi persatuan dan
perkumpulan pemuda yang ada. Adapun isi putusan tersebut adalah :
……….Kerapatan laloe mengambil
kepoetoesan :
Pertama : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe
Bertoempaah darah yang
satoe, tanah Indonesia;
Kedoea : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe
Berbangsa yang satoe
bangsa Indonesia;
Ketiga : Kami Poetera dan Poeteri
Indonesia mendjoendjoeng
bahasa
persatoean, Bahasa Indonesia.
|
Keputusan pemuda-pemudi itu kemudian dikenal dengan Sumpah
Pemuda, pada saat itu pula dikumandangkannya lagu Indonesia Raya ciptaan Wage
Rudolf Supratman dan bendera Merah Putih digunakan sebagai bendera Pusaka
Bangsa Indonesia.
Peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 itu merupakan puncak
pergerakan nasional. Karena itulah kita memperingatinya sebagai peristiwa
bersejarah yang diperingati setiap tahun hingga saat ini sebagai hari besar
nasional.
Selanjutnya organisasi-organisasi pemuda itu mengadakan
persiapan-persiapan untuk mengadakan fusi. Jong Java sebagai organisasi
terbesar dan tertua waktu itu, menyetujui ide fusi itu dalam Kongres ke-11,
tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta. Sebagai kelanjutan kongres itu Jong
Java membubarkan diri dan bergabung dengan Indonesia Muda. Komisi Besar
Indonesia Muda kemudian menyelenggarakan kongres untuk mendirikan badan fusi
yang bernama Indonesia Muda di Gedung Habiprojo Surakarta yang diselenggarakan
pada tanggal 28 Desember hingga 2 Januari 1931.
Dengan berdirinya Indonesia Muda secara otomatis perkumpulan
Jong Java, Jong Celebes, Perhimpunan Indonesia, dan Pemuda Sumatera membubarkan
diri. Tampuk pimpinan Indonesia Muda kemudian diserahkan kepada Pedoman Besar
Indonesia Muda. Tokoh-tokoh yang menandatangani deklarasi Indonesia Muda itu
adalah Kuncara Purbopranoto, Muhammad Yamin, Jusupadi, Sjahrial, Assat, Suwadji
Prawirohardjo, Adnan Gani, Tamzil, Sujadi, dan Pantouw.
Indonesia Muda bertujuan membangun dan mempertahankan keinsyafan
antara anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya. Untuk
mewujudkan tujuan itu dikembangkan sikap saling menghargai dan memelihara persatuan
semua anak Indonesia, dengan mengadakan kursus-kursus untuk memberantas buta
huruf, memajukan olah raga, dan lain sebaginya. Diadakannya Kongres Pemuda II
yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda tersebut nampaknya ikut semakin
menyemangati perjuangan organisasi pergerakan perempuan di Indonesia.
Sementara itu gerakan organisasi pemuda terus mengalami
kemajuan. Pada 31 Desember 1931, diselenggarakan rapat besar Indonesia Muda.
Sementara itu gerakan organisasi pemuda terus mengalami kemajuan. Pada 31 Desember
1931, diselenggarakan rapat besar Indonesia Muda.
2. Bangkitnya Nasionalisme Modern
Sebagai seorang terpelajar Sukarno, muncul sebagai seorang
pemuda cerdas yang memimpin pergerakan nasional baru. Ia mendirikan partai
dengan nama Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927). Partai itu bersifat
revolusioner, sebelumnya partai itu bernama klub studi umum. Sukarno memimpin
partai itu hingga Desember 1929. Jumlah anggotanya hingga saat itu mencapai
1000 orang.
Sukarno juga turut serta memprakarsai berdirinya Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 1927. Pada 28
Oktober 1928 organisasi ini ikut menyatakan ikrar tentang tanah air yang satu,
berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus mendapat
tekanan dari Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI karena aksi-aksi yang dengan
radikal terhadap pemerintah Belanda, akhirnya ditangkap dan diadili. Menjelang
vonis pengadilan dijatuhkan, Sukarno sempat mengucapkan pidato pembelaan untuk
membakar semangat para pejuang. Pidato pembelaan itulah yang kemudian dibukukan
dengan judul: “Indonesia Menggugat”. Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan
hukuman kurungan kepada Sukarno.
Selama Sukarno menjalani masa penahanannya PNI pecah menjadi
dua, Partai Indonesia (Pertindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI
Baru. Sukarno masuk dalam Partai Indonesia dan PNI Baru dipimpin oleh Mohammad
Hatta dan Sjahrir.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno lebih menekankan pada
mobilisasi massa, sedangkan Hatta dan Sjahrir lebih menekankan pada organisasi
kader yang akan menentang tekanan pemerintah kolonial Belanda dengan keras dan
lebih menanamkan pemahaman ide nasionalisme. Namun demikian kedua strategi
politik itu belum mencapai hasil yang maksimal.
Sukarno dengan ide-ide nasionalisme itu memang terus diawasi.
Selepas dari Penjara Sukamiskin kemudian diasingkan ke Ende, Flores , Nusa
Tenggara Timur. Ia ditempatkan di sebuah rumah (konon rumah ini milik Haji
Abdullah). Bersama keluarganya, Sukarno selama empat tahun (1934-1938)
diisolasi dijauhkan dari dinamika perjuangan kebangsaan.
Sukarno ternyata tidak hanya diisolasi, sebagai tahanan
pemerintah, Sukarno justru masih harus berjuang untuk menghidupi anggota
keluarganya. Inilah perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan Sukarno di
pengasingan.
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi
pergearkan untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran
Marxis mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir
Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme
internasional.
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi
pergearkan untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran
Marxis mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir
Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme
internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo pemimpinnya
berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada
tahun 1939. Tokoh pendiri GAPI adalah Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan
itu, Gerindo berada dalam satu arah dengan Parindra yang dipimpin oleh Thamrin
dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra adalah partai politik Indonesia yang
paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di
volksraad. Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam Volksraad
yang disebut Fraksi Nasional.
3. Perjuangan di Volksraad
Pada akhir tahun 1929, pimpinan PNI ditangkap. Untuk melanjutkan
perjuangan maka dibentuklah fraksi baru dalam volksraadyang bernama Fraksi
Nasional, pada Januari 1930 di Jakarta. Fraksi itu diketua oleh Muhammad Husni
Tramrin yang beranggotakan sepuluh orang yang berasal dari Jawa, Sumatera dan
Kalimantan. Tujuan organisasi itu adalah menjamin kemerdekaan Indonesia dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi
Nasional. Mereka mengecam tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan yang
diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat
pertahanan yang dapat menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah
kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi saat itu sedang mengalami depresi.
Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk meningkatkan
kesejateraan rakyat. Kericuhan sempat muncul dengan adanya Petisi Sutardjo pada
15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad. Petisi itu menyuarakan tentang kurang
giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan yang disebabkan oleh tidak adanya
saling pengertian dari pihak pemerintah.
Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan
Pegawai Bestuur/Pamong Praja Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di
Volksraad, mendapat dukungan dari beberapa wakil golongan dan daerah dari
Volksraad mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil Indonesia dan
Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang dapat
berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda. Petisi itu
melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda.
Petisi itu
mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad, selanjutnya disampaikan
pada pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda. Petisi itu tanpa melalui
perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 November 1938. Alasan
penolakan petisi adalah Indonesia belum siap untuk memikul tanggungjawab
memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga dinilai belum mampu untuk
berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka.
PETISI SUTARDJO:
1. volksraad sebagai parlemen
sesungguhnya,
2. direktur departeman diberi
tanggungjawab,
3. dibentuk Dewan Kerajaan
sebagai badan tertinggi antara negari
Belanda dan Indonesia yang
anggotanya merupakan wakil kedua
belah pihak,
4. penduduk Indonesia adalah
orang-orang yang karena kelahirannya,
asal-usulnya, dan
cita-citanya memihak Indonesia.
|
a. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935.
Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan
PBI. Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai
Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa anggota
Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo.
Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai
ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo,
penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo.dr. Sam
Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat tiong, dan Alatas.
b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan
organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya adalah Mr. Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI adalah
adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme. Kemenangan
dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu,
Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena
itu pers Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali baris dalam suatu wadah
persatuan berupa “konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu
menyadarkan dan menggerakan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintahan sendiri,
serta menyadarkan pemerintah Belanda akan cita-cita bangsa Indonesia. Juga
mengadakan perubahan pendekatan dengan organisasi-organisasi politik untuk membicarakan
masa depan bangsa Indonesia.
Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di
Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai
politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia
(GAPI).
Untuk mencapai tujuannya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia
(KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu
Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya adalah penetapan bendera
Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan
Indonesia.
Saat Jerman menyerbu Polandia GAPI mengeluarkanManifest GAPI(20
September 1939). Isi manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda
untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme.
Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan
Indonesia dinyatakan dalam darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi
yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan
menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi adalah mengganti
Volksraaddengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih rakyat dan mengubah
fungsi kepala departemen menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Pada 14 September 1940 dibentuk Commissietot besudeering van
staatsrechtelijke Hervormigen. Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena
diketuai oleh D. Visman.
Pertemuan wakil GAPI dengan komisi Visman pada 14 Februari 1941
di Gedung Raad van Indie, di Jakarta tidak menghasilkan hal baru. Pertemuan itu
hanya menambahkan kekecewaan pada kalangan pergerakan sehingga ada anggapan
GAPI tidak radikal lagi.
4. Masa Berakhirnya Pemerintahan
Kolonial
Menjelang berakhirnya masa pemerintahan kolonial, berbagai
bentuk pergerakan nasional dapat dikontrol oleh pemerintah kolonial. Masuknya
bumiputera sebagai anggota Volksraad bukan berarti kaum bumiputera diberi hak
penuh untuk menyarakan pendapatnya dalan Volksraad.
Selama masa
1920-an, Politik Etis mulai kehilangan prinsip-prinsip asosiasinya. Politik
Etis kemudian dipandang sebagai tugas kemakmuran yang tetap berjalan dalam
pengamanan masyarakat Indonesia. Pada akhir 1920-an, pergerakan yang dilakukan
kaum terpelajar mengarah pada nasionalisme sebagai arahan politiknya. Berbeda
dengan bentuk-bentuk pergerakan lama yang didasari pada ideologi Pan-islamisme
dan komunisme. Hal itu terlihat pada gerakan-gerakan mereka di bidang sosial
dan ekonomi. Pada 1930-an pikiran-pikiran asosiasi dilahirkan kembali seperti
yang disebut dengan Gerakan Stuw yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kolonial
yang progresif dan berusia muda, hal itu tidak juga memperbaiki kemerosotan
rencana-rencana pemerintah kolonial, sampai akhirnya datangnya Jepang.
Komentar